Muh. Minor, S.Pd (Jurnalis Kampung)
23 persen angka dikeluarkan rekanan, banyak kegiatan tidak bermanfaat. Padahal mereka terus menggaungkan defisit anggaran karena Tranfer ke Daerah (TKD) berkurang. Hal ini terlihat dari banyaknya nama-nama kegiatan yang dimunculkan pemerintah dan dinas-dinasnya untuk mencari cuan.
Dan ya, kau adalah Sang Angling Dharma yang dipola Batik Madrim dan kroni-kroninya.
Apakah salah bagi pemborong?. Tidak, karena rekanan hanya mengerjakan, bukan mengusulkan nama kegiatan dimaksud. Ini tentu akal bulus pemerintah daerah yang tentunya bisa saja Pj Walikota bahkan Sekda ditengah kekosongan jabatan.
Selama jabatan kosong, mereka menjadi garong. Sejak 2023 hingga 2025 ini, banyak nama-nama aneh kegiatan infrastruktur yang tak urgent.
Fenomena ini mengarah pada satu persoalan mendasar bagi Kota yang kini berjargon Linggau Juara. Apakah proyek-proyek tersebut benar-benar lahir dari kebutuhan rakyat, atau justru menjadi alat politik dan ekonomi bagi segelintir elit yang punya kuasa atas anggaran?
Disinilah seorang walikota atau kepala daerah umumnya, harus cermat, teliti dan hati-hati. Telah banyak kepala daerah hasil pilkada serentak 2025 dibui. Entah itu alasan mengembalikan modal pilkada, sekedar fee ala kadarnya saja, bahkan disebut “Uang Rokok” yang akan membuatmu terpenjara.
Engkau kepala daerah baru, sistem pemerintahanmu dikuasai oleh orang lalu. Kita tahu kamu butuh, tapi jangan asal sebut terburu-buru mengatakan buntu.
Sebuah proyek pembangunan yang tidak memberikan manfaat kepada masyarakat dan tidak selaras dengan perencanaan yang matang, pada akhirnya berisiko menimbulkan kerugian bagi keuangan negara. Di sinilah letak bahaya terbesarnya. Sebab dalam perspektif hukum, setiap pengeluaran negara yang tidak berdampak positif, bahkan menimbulkan kerugian, berpotensi menjadi objek tindak pidana korupsi (Tipikor).
Aturan dan rambu-rambunya tegas. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu rumusan tindak pidana dalam UU tersebut adalah penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian negara. Artinya, bukan hanya soal mengambil uang negara untuk kepentingan pribadi yang dapat dikategorikan sebagai korupsi, tapi juga kelalaian atau penyalahgunaan dalam bentuk kebijakan dan proyek yang tidak memberikan manfaat sebagaimana mestinya.
Syarat-syarat terpenuhinya tindak pidana korupsi dalam konteks proyek pembangunan, antara lain: adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta timbulnya kerugian keuangan negara yang nyata dan terukur. Dalam praktiknya, kerugian negara ini dapat dibuktikan melalui hasil audit resmi dari lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau auditor independen yang berwenang.
Pertanyaannya: apakah proyek semacam ini dapat menjadi objek tindak pidana korupsi? Jawabannya: bisa, jika memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum. Oleh karena itu, sudah saatnya aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih serius menyoroti proyek-proyek pembangunan di daerah. Audit menyeluruh terhadap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan output proyek harus dilakukan secara berkala dan transparan.
Lebih dari itu, masyarakat juga berhak untuk mengawasi penggunaan anggaran di daerah. Demokrasi tidak cukup dijalankan lewat pemilu lima tahunan. Partisipasi warga dalam mengontrol anggaran dan pembangunan justru jauh lebih penting dalam kehidupan sehari-hari. Transparansi informasi publik harus dijamin, dan akses masyarakat terhadap dokumen perencanaan serta realisasi proyek pembangunan harus dibuka seluas-luasnya.
Pemerintahan baru di berbagai daerah, termasuk pusat, sebaiknya mengubah paradigma pembangunan. Sudahi orientasi pembangunan yang hanya mengejar proyek fisik untuk pencitraan. Pembangunan mental, integritas birokrasi, dan akhlak penyelenggara negara harus menjadi prioritas. Sebab tanpa itu, proyek apa pun hanya akan menjadi pemborosan, atau lebih buruk lagi, menjadi kendaraan korupsi berjubah pembangunan.-*






